Wednesday, September 29, 2010
Kulirik perempuan yang ada disebelahku, ia menggeliatkan tubuh langsingnya. Mulutnya terbuka lebar. Ia menguap. "ngantuk. hujan membuat mataku berat.", katanya. Aku melihat kepalanya terkulai dimeja kerjanya, kemudian matanya mulai terpejam. Kubaca segelintir pesan dari seorang teman. "sial, hujan begini bikin horny!", tulisnya. Kuduga ia sedang memandangi gambar wanita bertubuh sintal dan berlipstick merah tua yang menggoda, memberi makan pada nafsu birahinya. Kudengar segelintir orang bermaksud melucu tentang usaha ojek payung yang meraup untung dihari hujan. Kupikir ia hanya bermaksud menyindir, iri karena gajinya kurang.
Hmmm...Hmmm... Hums human...
Aku berdiri, meninggalkan mereka....
Dipintu kaca kulihat titik-titik air turun merayap. Diatas sana, langit pekat. Tidak sekilaspun cahaya menyelinap. Karena malam juga sudah mengganti siang, lalu...hanya ada hujan dan gelap.
Cairan berbentuk bulat-bulat itu tidak terlihat dengan mata telanjang, hanya beberapa milimeter besarnya. Berarak-arak turun mendekati kecepatan cahaya. Langit tidak segan-segan menumpahkan beban awan pada bumi. Menghimpit udara antara langit dengan permukaan bumi. pir luruh dengan curahnya. Menekan, seakan langit hampir luruh dengan curahnya. Bumi tidak melawan ketetapan langit. Hujan hanya ingin turun deras, semena-mena.
Hhhhh....Hhhhhh.... Huffing breathe...
Tangan ini bergerak menarik engsel pintu kaca. Pemandangan dibalik kaca yang jadi magnetnya.
Kaki ini menapak pada permukaan yang basah. Aku menengadah pada langit. Petrichor memanjakan indera penciuman. Dari tanah, bau minyak atsiri menguap. Indera pendengaran dipenuhi aname bergemuruh. Dari udara yang menekan, telingaku disusupi kebisingan putih yang juga sendu. Hujanpun berbahasa.
Kaki ini menapak pada permukaan yang basah. Aku menengadah pada langit. Petrichor memanjakan indera penciuman. Dari tanah, bau minyak atsiri menguap. Indera pendengaran dipenuhi aname bergemuruh. Dari udara yang menekan, telingaku disusupi kebisingan putih yang juga sendu. Hujanpun berbahasa.
Aku berdialog dengan hujan melalui bahasa yang dimengertinya. Katanya, "Sana... masuk kedalam. Kau bisa ikut tidur bersama temanmu atau menyesap sesuatu yang menghangatkan tubuhmu."
Aku menggeleng. Kebisingan putih itu masih menggelitik telingaku.
"Anak keras kepala... Kau bisa kena pneumonia! Kembalilah kepembaringanmu. Ini urusanku dengan bumi.", hardiknya.
"Tapi aku suka disini."
Hujan berbisik lebih lembut. "Kenapa?" tanyanya.
"Tidak ada yang tahu aku menangis."
Huummm...Huummm... Humming rain...
Sesekali berusaha menyela perhatianku. Hujan mengusir pasangan sepayung berdua yang sedang kasmaran. Berusaha mengejek, angin menerbangkan payung jelek nan rapuh, kamuflase benteng perteduhan. Tapi dibalik ejekan hujan, pasangan kasmaran itu masih tertawa-tawa sambil berlari mencari tempat perteduhan yang baru, tangan mereka masih bertaut. Hujan tidak marah ejekannya tidak mengena. Yang marah-marah justru manusia lainnya. Mati rasa didalam mobilnya yang berjam-jam tidak bergerak seincipun dijalanan yang banjir kendaraan. Sungguh, bagiku hanya dinamika dari kebencian dan kenikmatan yang bertabrakan. Chaos.
Plop plop....drop...drop...splash.... pitter-patter rain...
Air hujan, air mata, air liur atau ingus. Siapa yang tahu? Hujan menyembunyikan dengan baik air mataku. Tidak ada yang bisa membedakan asal air yang menetes, kala berdiri dibawah guyuran hujan. Genangan dibawah kakiku sebagai rendez-vous. Kedua tetes itu bertemu.
"siapa kamu?" tanya tetesan hujan.
"aku air mata dari pecinta yang patah hati."
Mereka mengambang bersama. Mengalir kepembuangan, menyerap kedalam tanah, menguap bersama udara dingin. Terserah.
Aku masih suka berada disini. Bersama awan, bahu kami masih lelah, kawan. Nanti...nanti...biar sampai habis, sampai waktunya berhenti...
nyah! nyah! nigglers nag, nightfall near...**
Alam memerintahkan malam untuk merajai bumi. Hujanpun mulai kehilangan minatnya. Bebannya sudah berpindah tangan pada bumi. Aku melihat kebawah. Disana jejak hujan masih tersisa, tapi mungkin besok pagi akan kering. Apa yang membekas dari hujan hari ini, mungkin besok tidak ada. Sama seperti jejak air mataku yang dikeringkan oleh angin. Makin lama makin samar, sampai hilang.
Aku menengadah kelangit. Diatas sana masih gelap. Tapi tidak kutemukan awan gelap dan gemuruh aname. Sunyi. Langit ini milik malam dan penghuninya. Langit ini terbuka. Disana, lalu aku melihat....dibalik awan, masih ada bintang.
the nice thing about rain, is that it always stops. eventually -Eeyore, Winnie The Pooh.
Kezia Mamoto
**.a poem by Lee Emmett, Toot!Toot! Tourist Train
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment