Tuesday, September 14, 2010
Ambil kopi, nyalain rokok.
Hmmm… mau gimana ya ceritanya. Pengen cerita tapi ceritanya terlalu pendek. Waktu yang dijalanin terlalu pendek. mau dipanjang-panjangin juga percuma, soalnya emang bener-bener pendek.
Isep rokok, minum kopi dikit.
Waktu ketemunya juga tiba-tiba, nggak direncanain juga. Simple meeting.
Salah, apus ah. Isep rokok lagi.
Waktu ketemunya tiba-tiba, soalnya tiba-tiba dia ngajak jalan. Simple banget, Cuma makan malem doank. Ditraktir pula. Biasa, ritual ulang tahun kan traktir makan-makan. Ngobrol ngalor ngidul, berlama-lama dimeja restoran sampe diliatin waiters. Abis itu dianter pulang deh. That was the end of the night.
Isep rokok, udah tinggal dikit lagi mati. Minum kopi lagi.
Oo iya, namanya Rangga. Aku kenal dia 5 tahun yg lalu, waktu masih kelas 1 SMA. Dia pindah sekolah ditahun berikutnya. Nggak banyak juga temen-temen yang akrab dengannya karena hanya setahun kami satu sekolah. Tiba-tiba ketemu lagi di facebook. Damn u, social sites!! Saling meng-add temen-temen masa jadul, ketawa-ketawa bareng temen-temen lama, tuker-tukeran nomer handphone, email, chatting. Dunia rasanya maju mundur. Nostalgia sambil tetep ngejalanin hidup yang sekarang dijalanin. Jadi kadang lupa mana yang nyata dan mana yang nggak nyata, berandai-andai. Seandainya dulu begini, seandainya dulu begitu. Bahan pembicaraan yang kadang memunculkan emosi-emosi bermacam-macam. Tapi akhirnya Cuma jadi bahan tertawaan.
Matiin rokok.
Seminggu Cuma sms-sms an, seru, tapi kayanya jadi keseringan. Lupa waktu, lupa tempat. Yang penting seru. Minggu depannya dia ngajak jalan lagi. Kali ini nonton ke bioskop. Masih seru juga, padahal Cuma dua kali pergi bareng tapi kayanya udah sering. Biasa lah, efek keseringan telpon, chatting dan sms. Yang jauh jadi deket. Kali ini aku dapat bonus waktu dianter pulang. Kiss good night on the cheek. So sweet! That night I had butterflies in my stomach.
Ganti kertas. Minum kopi sampai habis.
Gini katanya, “maaf ya, gw gak bisa jemput lo di kampus hari ini.”. Rangga beralasan. Aku manyun sendirian. Selama 3 minggu aku mendengar alasan yang itu-itu juga. Aku sudah tahu alasannya tapi tetep aja bikin kesel dengernya. Harus tetep sok cool waktu menjawab, “ooh iya, gak apa-apa kok. Ntar gw pulang sama temen kok.” Padahal akhirnya aku pulang sendiri naik bis, panas-panasan, berdiri pula. Hhhh….
Muter-muter pensil di pipi, duuh.. sakit ya, tajam pensilnya. Usap-usap pipi.
Party all night long. Clubbing sama temen-temen kampus. Kata anak-anak boleh bawa cowok, biar gak garing di dalem. Hmm.. kesempatan buat ngajak Rangga jalan. Dia langsung meluncur begitu bisa kabur dari rumah. Malam itu ternyata nggak terlalu panjang, kita cepet-cepet pergi dari club. Ada penggerebekan dadakan. Tapi anak-anak udah terlajur mabok. Aku sendiri udah menegak setengah pil. Efeknya lumayan, pusing-pusing, nggak nyambung diajak ngomong, nyengir-nyegir nggak jelas. Rangga nggak mungkin bawa aku pulang. Anak-anak pada kabur, bubar begitu aja. Jadilah malam itu kita muter-muter nggak jelas. Aku juga nggak terlalu ingat. Paginya, kepalaku pusing. Begitu buka mata, matahari langsung masuk lewat jendela mobil. Aku terkapar dimobil Rangga. Pakaianku berantakan. Aku nggak pakai BH dan celana dalam. Rangga tidur dikursi belakang, tapi pakaiannya nggak terlalu berantakan. Did we have sex last night? Mau nanya malu, ketauan bego nya, masa nggak inget sama sekali. Oo no!
Nyalain batang rokok kedua.
Pura-pura lupa sama kejadian malam itu, Rangga tetap eksis di facebook, sms, chatting. Tapi udah jarang telpon lagi. Sibuk banget keliatannya. Bikin kesel sih kalo dia beralasan nggak bisa ketemuan. Alasannya itu-itu juga. “gw harus jemput cewe gw, nit.”
Isep rokok.
Curhat sama temen kampus, semua jawabannya sama. “Nita, lo gak boleh marah-marah. Siapa suruh mau jadi selingkuhan.” Jawabannya nggak enak didenger. Ada jawaban yang lebih bijak dikit, “Nita, mending lo udahan aja, daripada lo sakit hati sendiri, lo pasti lama-lama main perasaan juga kan? atau lo suruh dia milih, elo atau cewenya. Gitu, dear.”. bisa habis aku dibantai Rangga kalau ngebahas soal pilihan. Nggak mungkin minta dia milih aku atau cewenya, biarpun katanya cewenya nyebelin tetep aja tuh dia bisa tahan pacaran 5 tahun. Kalo udah tahu nyebelin kenapa bisa selama itu, nggak masuk akal. Dalam hati aku tahu aku Cuma selingan, aku Cuma sedikit hiburan dari kejenuhannya, aku Cuma tempat pelarian waktu pacarnya nggak bisa ngasih solusi. Jangankan nyuruh Rangga milih, untuk nanya status kita berdua aja aku nggak berani. Rangga tetap santai kalau datang ke kampusku, nongkrong sama temen-temenku, nggak malu-malu untuk pegang tanganku sekali-sekali. Dia sudah masuk keduniaku. Dia sudah mengintervesi pola hidupku. Dia sudah memanipulasi pikiranku dengan kata-katanya yang sederhana, “kita jalanin aja, nit. Aku enjoy koq.”. emosinya tidak bisa ditebak, perasaannya tidak bisa diduga. kenapa harus selalu perempuan yang menunjukkan emosi lebih banyak? Kenapa perempuan harus dikontrol oleh perasaan? kenapa perempuan pada akhirnya jadi mahluk munafik karena nggak bisa menepati janji pada diri sendiri untuk nggak selalu mengikut sertakan perasaan saat menjalani sesuatu? Perempuan bukan mahluk bodoh tetapi diposisikan menjadi korban dan juga menjadi penjahat. Korban dan penjahat atas perasaannya sendiri.
Ganti kertas. Isep rokok lagi.
Rangga datang ke kamar kost ku. Dia habis bertengkar hebat sama pacarnya. Dari hasil pertengkaran itu, katanya dia sudah putus sama pacarnya. Dalam hati aku senang, girang setengah mati. Rangga datang mencariku. Rangga bisa jadi milikku. Rangga nggak akan beralasan lagi. Aku biarkan dia memaki-maki, yang penting bukan aku yang dimaki-maki. Aku biarkan dia marah-marah, yang penting bukan aku yang dimarahi. Aku dengarkan sambil lalu ocehannya. Pikiranku melayang-layang, mengkhayalkan apa yang akan aku umumkan pada teman-temanku besok, dengan bangga aku akan ceritakan, “Guys, finally! Dia putus juga sama cewenya! Ha! Liat kan, gw bisa juga jadi sama Rangga!”. Itu akan jadi kalimat balasan buat semua nasehat-nasehat menyebalkan dari teman-temanku. Mereka nggak akan meledek aku lagi karena status selingkuhan sudah tidak berlaku lagi. Mereka tidak akan lagi merasa simpati karena aku selalu cerita tentang Rangga yang suka membatalkan janji denganku. Yang paling penting, mereka nggak akan lagi pura-pura kasihan padahal dalam hati mereka berkata, “lagian mau aja jadi selingkuhan. Salah sendiri, itu resiko lo, nit!”. Waktu aku asik mengkhayal, ternyata Rangga sudah selesai cerita. Aku sendiri nggak ingat apa isi pertengkaran Rangga dengan pacarnya. Oo salah, sekarang mantan pacar. Ha! Selesai cerita mood nya langsung berubah. Dia menciumku. Aku sih senang-senang aja. Dia jadi bersemangat. Aku juga nggak nolak. Yah yang terjadi biarlah terjadi. Mari kita buat malam ini indah, sayang.
Matiin rokok. Ambil permen. Nggak ada yang rasa strawberry, ya udah, rasa apel aja deh.
“Lo pikir gw apaan, ngga? Tempat pelarian lo?” aku marah-marah sama Rangga. Rangganya diem aja. Keliatannya gak terlalu mau repot dengan kekesalanku. “lo nggak bisa gitu aja dateng ke tempat gw, tiga hari yang lalu lo bilang lo udah putus sama cewe lo, terus lo bujuk-bujuk gw buat nyeneng-nyenengin nafsu lo. Terus sekarang apa?”. Pertanyaanku yang terakhir aku tahu itu adalah pertanyaan yang paling dihindari Rangga. Dia bilang maaf padaku. Maaf kalau dia ternyata dia menyakiti aku. Maaf karena dia nggak bisa ngasih apa-apa buat aku. Maaf karena dia akhirnya balik lagi sama pacarnya. Nggak menjawab pertanyaan dan nggak menyelesaikan apa-apa. Cuma nambah-nambahin sakit hati. Tapi pelukannya yang menenangkanku seolah-olah menutup pembicaraan. That’s it. Bagaimana soal besok? Ternyata telponku masih berdering, sms-sms dari Rangga masih masuk ke inbox. Isinya sama saja seperti hari-hari kemarin.
Ambil air putih. Minum segelas air putih sampai habis.
Melamun sambil liat-liat kalender dimeja belajar. Tujuh bulan yang lalu Rangga masuk ke kehidupanku. Mengacak-acak yang ada didalamnya. Memutar balikkan perasaanku. Dia yang membuatku merasa senang, dia juga yang merusak kesenanganku. Dia alasan aku tertawa, dia juga alasan aku marah-marah. Dia yang membuat hatiku berdebar-debar, dia juga yang menghentikan debaran itu. Sudah dua bulan telponku berhenti berdering. Sms-sms dari Rangga nggak pernah datang lagi. Dia tidak kelihatan banyak aktifitas di dunia maya. Bukannya aku menguntit setiap kegiatannya. Tapi aku nggak tenang. Tidak bisa dibiarkan begitu saja dengan perasaan nggak karuan. Nggak bisa tidur karena mikirin sms yang nggak dibalas, telpon yang nggak diangkat. Tidak bisa terima kenyataan kalau Rangga tiba-tiba saja menghilang. Mau cari kemana? Dia membatasi aku masuk kedunianya. Aku nggak pernah bisa menembus ruang geraknya. Harus kuakui, dia pintar, dia bisa menyimpan hubungan kami dengan sangat rapi. Terus-terusan aku bertanya-tanya, apa ada yang salah? Mungkin dia sekarang beralih ke perempuan lain? Mungkin juga dia bosan? Mungkin juga dia tiba-tiba sadar bahwa hubunganku dengannya tidak berarti? Semua Cuma kemungkinan-kemungkinan. Nggak ada yang bisa jawab selain Rangga, karena faktanya ada ditangan dia. Aku dibiarkan mengira-ngira sendiri. Nggak pernah ada tanda-tanda dia mau mengakhiri hubungan kami. Nggak pernah juga ada cerita soal ketahuan selingkuh dari pacarnya. Bener-bener langsung hilang. Clueless. Aku nggak siap kehilangan. Shock juga ditinggal dengan tiba-tiba. Kesal, marah, bingung, kangen. Perasaan-perasaan itu harus aku telan bulat-bulat. Mau cerita sama temen-temen, gak bisa, aku malu. Malu karena sampai terakhir aku nggak bisa memproklamirkan kemenangan. Aku sama sekali nggak pernah menang malahan. Kepingin sekali aku mengumpat-umpat, memaki-maki Rangga sampai puas didepan mukanya. Sialan! Cowo brengsek! Dan sebagainya, Tapi kata-kata itu nggak bisa keluar, karena kenyataannya dia ayah dari anakku.
Naruh pensil dimeja. Pegang-pegang perut. Nangis.
Kezia Mamoto
gue nggak ngerti kenapa kakak gue suka sama cerita ini... hmmm.. sepertinya dia berahasia sama gue.. *mikir
Hmmm… mau gimana ya ceritanya. Pengen cerita tapi ceritanya terlalu pendek. Waktu yang dijalanin terlalu pendek. mau dipanjang-panjangin juga percuma, soalnya emang bener-bener pendek.
Isep rokok, minum kopi dikit.
Waktu ketemunya juga tiba-tiba, nggak direncanain juga. Simple meeting.
Salah, apus ah. Isep rokok lagi.
Waktu ketemunya tiba-tiba, soalnya tiba-tiba dia ngajak jalan. Simple banget, Cuma makan malem doank. Ditraktir pula. Biasa, ritual ulang tahun kan traktir makan-makan. Ngobrol ngalor ngidul, berlama-lama dimeja restoran sampe diliatin waiters. Abis itu dianter pulang deh. That was the end of the night.
Isep rokok, udah tinggal dikit lagi mati. Minum kopi lagi.
Oo iya, namanya Rangga. Aku kenal dia 5 tahun yg lalu, waktu masih kelas 1 SMA. Dia pindah sekolah ditahun berikutnya. Nggak banyak juga temen-temen yang akrab dengannya karena hanya setahun kami satu sekolah. Tiba-tiba ketemu lagi di facebook. Damn u, social sites!! Saling meng-add temen-temen masa jadul, ketawa-ketawa bareng temen-temen lama, tuker-tukeran nomer handphone, email, chatting. Dunia rasanya maju mundur. Nostalgia sambil tetep ngejalanin hidup yang sekarang dijalanin. Jadi kadang lupa mana yang nyata dan mana yang nggak nyata, berandai-andai. Seandainya dulu begini, seandainya dulu begitu. Bahan pembicaraan yang kadang memunculkan emosi-emosi bermacam-macam. Tapi akhirnya Cuma jadi bahan tertawaan.
Matiin rokok.
Seminggu Cuma sms-sms an, seru, tapi kayanya jadi keseringan. Lupa waktu, lupa tempat. Yang penting seru. Minggu depannya dia ngajak jalan lagi. Kali ini nonton ke bioskop. Masih seru juga, padahal Cuma dua kali pergi bareng tapi kayanya udah sering. Biasa lah, efek keseringan telpon, chatting dan sms. Yang jauh jadi deket. Kali ini aku dapat bonus waktu dianter pulang. Kiss good night on the cheek. So sweet! That night I had butterflies in my stomach.
Ganti kertas. Minum kopi sampai habis.
Gini katanya, “maaf ya, gw gak bisa jemput lo di kampus hari ini.”. Rangga beralasan. Aku manyun sendirian. Selama 3 minggu aku mendengar alasan yang itu-itu juga. Aku sudah tahu alasannya tapi tetep aja bikin kesel dengernya. Harus tetep sok cool waktu menjawab, “ooh iya, gak apa-apa kok. Ntar gw pulang sama temen kok.” Padahal akhirnya aku pulang sendiri naik bis, panas-panasan, berdiri pula. Hhhh….
Muter-muter pensil di pipi, duuh.. sakit ya, tajam pensilnya. Usap-usap pipi.
Party all night long. Clubbing sama temen-temen kampus. Kata anak-anak boleh bawa cowok, biar gak garing di dalem. Hmm.. kesempatan buat ngajak Rangga jalan. Dia langsung meluncur begitu bisa kabur dari rumah. Malam itu ternyata nggak terlalu panjang, kita cepet-cepet pergi dari club. Ada penggerebekan dadakan. Tapi anak-anak udah terlajur mabok. Aku sendiri udah menegak setengah pil. Efeknya lumayan, pusing-pusing, nggak nyambung diajak ngomong, nyengir-nyegir nggak jelas. Rangga nggak mungkin bawa aku pulang. Anak-anak pada kabur, bubar begitu aja. Jadilah malam itu kita muter-muter nggak jelas. Aku juga nggak terlalu ingat. Paginya, kepalaku pusing. Begitu buka mata, matahari langsung masuk lewat jendela mobil. Aku terkapar dimobil Rangga. Pakaianku berantakan. Aku nggak pakai BH dan celana dalam. Rangga tidur dikursi belakang, tapi pakaiannya nggak terlalu berantakan. Did we have sex last night? Mau nanya malu, ketauan bego nya, masa nggak inget sama sekali. Oo no!
Nyalain batang rokok kedua.
Pura-pura lupa sama kejadian malam itu, Rangga tetap eksis di facebook, sms, chatting. Tapi udah jarang telpon lagi. Sibuk banget keliatannya. Bikin kesel sih kalo dia beralasan nggak bisa ketemuan. Alasannya itu-itu juga. “gw harus jemput cewe gw, nit.”
Isep rokok.
Curhat sama temen kampus, semua jawabannya sama. “Nita, lo gak boleh marah-marah. Siapa suruh mau jadi selingkuhan.” Jawabannya nggak enak didenger. Ada jawaban yang lebih bijak dikit, “Nita, mending lo udahan aja, daripada lo sakit hati sendiri, lo pasti lama-lama main perasaan juga kan? atau lo suruh dia milih, elo atau cewenya. Gitu, dear.”. bisa habis aku dibantai Rangga kalau ngebahas soal pilihan. Nggak mungkin minta dia milih aku atau cewenya, biarpun katanya cewenya nyebelin tetep aja tuh dia bisa tahan pacaran 5 tahun. Kalo udah tahu nyebelin kenapa bisa selama itu, nggak masuk akal. Dalam hati aku tahu aku Cuma selingan, aku Cuma sedikit hiburan dari kejenuhannya, aku Cuma tempat pelarian waktu pacarnya nggak bisa ngasih solusi. Jangankan nyuruh Rangga milih, untuk nanya status kita berdua aja aku nggak berani. Rangga tetap santai kalau datang ke kampusku, nongkrong sama temen-temenku, nggak malu-malu untuk pegang tanganku sekali-sekali. Dia sudah masuk keduniaku. Dia sudah mengintervesi pola hidupku. Dia sudah memanipulasi pikiranku dengan kata-katanya yang sederhana, “kita jalanin aja, nit. Aku enjoy koq.”. emosinya tidak bisa ditebak, perasaannya tidak bisa diduga. kenapa harus selalu perempuan yang menunjukkan emosi lebih banyak? Kenapa perempuan harus dikontrol oleh perasaan? kenapa perempuan pada akhirnya jadi mahluk munafik karena nggak bisa menepati janji pada diri sendiri untuk nggak selalu mengikut sertakan perasaan saat menjalani sesuatu? Perempuan bukan mahluk bodoh tetapi diposisikan menjadi korban dan juga menjadi penjahat. Korban dan penjahat atas perasaannya sendiri.
Ganti kertas. Isep rokok lagi.
Rangga datang ke kamar kost ku. Dia habis bertengkar hebat sama pacarnya. Dari hasil pertengkaran itu, katanya dia sudah putus sama pacarnya. Dalam hati aku senang, girang setengah mati. Rangga datang mencariku. Rangga bisa jadi milikku. Rangga nggak akan beralasan lagi. Aku biarkan dia memaki-maki, yang penting bukan aku yang dimaki-maki. Aku biarkan dia marah-marah, yang penting bukan aku yang dimarahi. Aku dengarkan sambil lalu ocehannya. Pikiranku melayang-layang, mengkhayalkan apa yang akan aku umumkan pada teman-temanku besok, dengan bangga aku akan ceritakan, “Guys, finally! Dia putus juga sama cewenya! Ha! Liat kan, gw bisa juga jadi sama Rangga!”. Itu akan jadi kalimat balasan buat semua nasehat-nasehat menyebalkan dari teman-temanku. Mereka nggak akan meledek aku lagi karena status selingkuhan sudah tidak berlaku lagi. Mereka tidak akan lagi merasa simpati karena aku selalu cerita tentang Rangga yang suka membatalkan janji denganku. Yang paling penting, mereka nggak akan lagi pura-pura kasihan padahal dalam hati mereka berkata, “lagian mau aja jadi selingkuhan. Salah sendiri, itu resiko lo, nit!”. Waktu aku asik mengkhayal, ternyata Rangga sudah selesai cerita. Aku sendiri nggak ingat apa isi pertengkaran Rangga dengan pacarnya. Oo salah, sekarang mantan pacar. Ha! Selesai cerita mood nya langsung berubah. Dia menciumku. Aku sih senang-senang aja. Dia jadi bersemangat. Aku juga nggak nolak. Yah yang terjadi biarlah terjadi. Mari kita buat malam ini indah, sayang.
Matiin rokok. Ambil permen. Nggak ada yang rasa strawberry, ya udah, rasa apel aja deh.
“Lo pikir gw apaan, ngga? Tempat pelarian lo?” aku marah-marah sama Rangga. Rangganya diem aja. Keliatannya gak terlalu mau repot dengan kekesalanku. “lo nggak bisa gitu aja dateng ke tempat gw, tiga hari yang lalu lo bilang lo udah putus sama cewe lo, terus lo bujuk-bujuk gw buat nyeneng-nyenengin nafsu lo. Terus sekarang apa?”. Pertanyaanku yang terakhir aku tahu itu adalah pertanyaan yang paling dihindari Rangga. Dia bilang maaf padaku. Maaf kalau dia ternyata dia menyakiti aku. Maaf karena dia nggak bisa ngasih apa-apa buat aku. Maaf karena dia akhirnya balik lagi sama pacarnya. Nggak menjawab pertanyaan dan nggak menyelesaikan apa-apa. Cuma nambah-nambahin sakit hati. Tapi pelukannya yang menenangkanku seolah-olah menutup pembicaraan. That’s it. Bagaimana soal besok? Ternyata telponku masih berdering, sms-sms dari Rangga masih masuk ke inbox. Isinya sama saja seperti hari-hari kemarin.
Ambil air putih. Minum segelas air putih sampai habis.
Melamun sambil liat-liat kalender dimeja belajar. Tujuh bulan yang lalu Rangga masuk ke kehidupanku. Mengacak-acak yang ada didalamnya. Memutar balikkan perasaanku. Dia yang membuatku merasa senang, dia juga yang merusak kesenanganku. Dia alasan aku tertawa, dia juga alasan aku marah-marah. Dia yang membuat hatiku berdebar-debar, dia juga yang menghentikan debaran itu. Sudah dua bulan telponku berhenti berdering. Sms-sms dari Rangga nggak pernah datang lagi. Dia tidak kelihatan banyak aktifitas di dunia maya. Bukannya aku menguntit setiap kegiatannya. Tapi aku nggak tenang. Tidak bisa dibiarkan begitu saja dengan perasaan nggak karuan. Nggak bisa tidur karena mikirin sms yang nggak dibalas, telpon yang nggak diangkat. Tidak bisa terima kenyataan kalau Rangga tiba-tiba saja menghilang. Mau cari kemana? Dia membatasi aku masuk kedunianya. Aku nggak pernah bisa menembus ruang geraknya. Harus kuakui, dia pintar, dia bisa menyimpan hubungan kami dengan sangat rapi. Terus-terusan aku bertanya-tanya, apa ada yang salah? Mungkin dia sekarang beralih ke perempuan lain? Mungkin juga dia bosan? Mungkin juga dia tiba-tiba sadar bahwa hubunganku dengannya tidak berarti? Semua Cuma kemungkinan-kemungkinan. Nggak ada yang bisa jawab selain Rangga, karena faktanya ada ditangan dia. Aku dibiarkan mengira-ngira sendiri. Nggak pernah ada tanda-tanda dia mau mengakhiri hubungan kami. Nggak pernah juga ada cerita soal ketahuan selingkuh dari pacarnya. Bener-bener langsung hilang. Clueless. Aku nggak siap kehilangan. Shock juga ditinggal dengan tiba-tiba. Kesal, marah, bingung, kangen. Perasaan-perasaan itu harus aku telan bulat-bulat. Mau cerita sama temen-temen, gak bisa, aku malu. Malu karena sampai terakhir aku nggak bisa memproklamirkan kemenangan. Aku sama sekali nggak pernah menang malahan. Kepingin sekali aku mengumpat-umpat, memaki-maki Rangga sampai puas didepan mukanya. Sialan! Cowo brengsek! Dan sebagainya, Tapi kata-kata itu nggak bisa keluar, karena kenyataannya dia ayah dari anakku.
Naruh pensil dimeja. Pegang-pegang perut. Nangis.
Kezia Mamoto
gue nggak ngerti kenapa kakak gue suka sama cerita ini... hmmm.. sepertinya dia berahasia sama gue.. *mikir
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment