Tuesday, September 14, 2010

this boy, this love, this beauty

Aku bertemu Marlon waktu anak ini berumur 3 tahun, dibulan Agustus tahun 2008. Pagi itu hari pertamaku teaching trial di sekolah CD. Aku melihat anak-anak yang berlari-larian dimana-mana, saking banyaknya aku sampai agak pusing. Aku berdiri didepan pintu kelas waktu nannynya Marlon menyapaku, “eh ada miss baru.” Si mbak berambut keriting itu menyapaku sambil menyuapi si anak, ditangannya ia memegang kotak makanan yang masih penuh. “Marlon, sek hen sama miss baru sana.” Kata si mbak kemudian. Dia mengatakan shake hand dengan bahasa mbak-mbak logat jawa. Aku menyapa anak yang berdiri didepanku itu. sejenak ia hanya melongo, mulutnya tertutup rapat. Anak keturunan cina ini kulitnya putih sekali, matanya sipit dan rambutnya yang lebat setengah berdiri bagai ekor landak. Belakangan aku baru tau dia baru saja potong rambut kemarin. “miss, coba tanya namanya siapa.” Kata si mbak kepadaku. “biar makanannya dikunyah, kan dia jadi bisa jawab. Hehehehe.” Jelas si mbak kemudian. Aku menuruti perintah si mbak. Kelihatan si mbak sudah tidak sabar supaya si anak cepat-cepat mengunyah makanannya. Aku bertanya, “hi, what’s your name?” sambil mengulurkan tangan. Si anak menjawab dengan mulut penuh makanan, “Marlon.” Ia mengulurkan tangan padaku. Itu pertama kali aku menjabat tangan Marlon Lee.
Marlon tidak berada dikelas tempatku mengajar. Ia masuk kelas Kindergarten 1, sedangkan aku mengajar dikelas Toddler dan Nursery 1. Sebanyak apapun kegiatan yang kami lakukan bersama, aku tidak pernah benar-benar dekat dengan Marlon. Ia jenis anak yang hanya menurut pada orang-orang tertentu. Di sekolah Marlon hanya menurut pada guru kelasnya, Ms. Vero. Apapun yang Ms. Vero bilang, pasti ia dengarkan dan lakukan. Seringkali ia terpaksa menurut sambil marah-marah, tapi tetap ia kerjakan apa yang Ms. Vero perintahkan. Pada guru-guru yang lain, Marlon tidak terlalu perduli. Ia lebih sering tidak menyahut jika dipanggil, kadang-kadang ia hanya menoleh sebentar kemudian kembali ke permainannya. Cuek. Termasuk aku, ia juga tidak menyahut kalau aku memanggilnya. Tapi begitu ia mendengar suara Ms.Vero, seperti ada reflex tersendiri dikepalanya hingga ia bisa langsung datang atau menyahut. Jadi kalau terjadi kekacauan dikelas yang melibatkan Marlon, kami tahu siapa yang harus menangani anak ini. pernah sekali waktu maminya bilang, “aku juga nggak tau, miss. Marlon tu anaknya susah, miss. Tapi kok bisa ya? Kenapa ya? Nggak tau nih”. Mami Marlon juga bingung, tapi bingung yang menyenangkan karena akhirnya ada orang lain yang didengar oleh anaknya.
Ms. Vero sering cerita pada kami. “Marlon itu pertama kali gue pegang belum bisa apa-apa, ms. Pegang pensil aja belum bener, grip nya salah. Disuruh coloring nggak mau, pasti dibuang crayonnya. Apalagi pegang gunting. Yang ada setiap kali gue suruh gunting sesuatu dia pasti bilang gini, “miss, u hold the paper and I cut, ok.” Nggak mau dia pegang kertas sama gunting sendiri. Ampun deh. Kata miss nya yang dulu, sebelum gue masuk, Marlon tuh susah banget diatur, nggak ada yang didenger sama dia, sampe miss-miss nya cape. Waktu gue coba deketin, ternyata dia nurut. Dia emang gitu anaknya, harus tawar-menawar dulu, nggak bisa kita seenak-enaknya perintah dia, karna dia pikirannya kritis, miss. Setiap gue suruh sesuatu dia pasti tanya, “why?” ya mau nggak mau harus dijelasin dulu. Nanti dia nurut sendiri. Tapi gue juga harus tegas sama dia, kalo nggak boleh ya nggak boleh, dia ngerti kok.” Kami yang mendengarkan penjelasan panjang lebar itu hanya bisa berkomentar “oooohh” panjang dan angguk-angguk kepala. Karena kenyataannya Marlon hanya menurut pada Ms.Vero. Sampai lebih dari setengah tahun aku mengajar di CD belum juga ada tanda-tanda kedekatan Marlon pada guru-guru yang lain, termasuk denganku.
Marlon anak yang aktif. Begitu ia memasuki ruangan, seketika itu juga ruangan menjadi hidup. Begitu ia tidak ada, sangat terasa sepinya. Biasanya dia datang membuka pintu, melihat sekeliling sebentar kemudian ia mengambil ancang-ancang untuk berlari. Ia suka main mobil-mobilan besar little tikes yang dijalankan oleh kaki. Hanya satu mobil yang selalu ia kendarai, mobil polisi warna biru. Ia tidak pernah main sepeda atau motor-motoran. Koordinasi gerak badan anak ini belum sempurna. Ia belum bisa mengayuh pedal sepeda roda tiga dengan benar. Kalau berlari, ia belum bisa menyempurnakan arah. Waktu ia baru masuk umur 4 tahun, ia sering menabrak sesuatu waktu lari-larian. Permainan Start dan Stop belum bisa dilakukan dengan baik. Ia juga kesulitan berdiri mengangkat satu kaki, apalagi balok keseimbangan. Ia tidak keberatan dengan ketidak mampuannya itu. setiap kegiatan exercise, lomba balap sepeda, merintangi balok, ia sering kalah. Ia marah-marah, jelas, tapi ia juga tidak keberatan jika temannya melakukan hal yang lebih baik darinya. Hanya satu komentarnya jika ia kalah dalam permainan, “why can’t I be the winner too? It’s no fair!”, yang dikatakannya sambil merengut. Entah bagaimana, semua ketidak sempurnaan gerak itu mampu membuat ruangan menjadi lebih cerah.
Suatu hari aku berangkat ke sekolah dengan wajah sembab. Mataku bengkak karena menangis semalaman. Air mata akibat pertengkaran dengan suami yang terbawa sampai tidur ternyata berbekas pada pagi hari. Sepanjang perjalanan aku tidak konsentrasi menyetir, isi kepalaku berantakan. Aku sebenarnya tidak semangat tapi aku tidak bisa begitu saja meninggalkan pekerjaan. Hari ini akan banyak anak-anak yang masuk dan bukan alasan untuk bolos hanya karena urusan rumah tangga. Sepanjang jalan aku hanya mendengarkan lagu-lagu dan terus berusaha mengendalikan setir mobil walaupun alam pikiranku berkelana jauh.
Aku memasuki gedung sekolah dengan biasa-biasa saja. Aktifitas pagi itu berjalan seperti mengambang dibenakku. Anak-anak datang satu persatu, aku mengawasi mereka bermain sampai jam sekolah dimulai. Morning meeting dan morning exercise yang dijalankan dengan wajar seperti biasa, kemudian kami masuk ke kelas masing-masing. Aku memutuskan untuk berkonsentrasi pada anak-anak dikelasku yang hari ini luar biasa banyaknya, dan itu ternyata belum cukup mampu menghilangkan kekalutan pikiranku. Sampai jam makan Snack anak-anak dimulai, keajaiban itu datang.
Kami duduk dikursi-kursi kecil sambil mengawasi anak-anak makan. Anak-anak yang sedang asik mengaduk-aduk sup sayuran berjajar didepan kami. Aku sendiri tidak terlalu memperhatikan karena sebentar saja pikiranku kembali melayang kerumah, sampai aku dikejutkan oleh suara Ms.Vero.
“Miss Kezia !” panggilnya. Aku menoleh. Ms. Vero sedang berjongkok disamping kursi Marlon. Anak itu sedang menunduk sambil mengaduk-aduk makanannya, Ms. Vero melihatku dengan tampang sumringah setengah tertawa. “Marlon says he loves you, Miss Kezia. He wants to come to your house.”
Aku mendadak melongo. Hah? Apa tadi yang dibilang? Setengah tidak percaya tapi kemudian tawa keras pecah diruangan. Guru-guru yang lain mendengar dan tertawa, termasuk Ms.Vero, sementara aku masih bengong. Dan Marlon sendiri terlihat membisikkan sesuatu pada Ms. Vero. Aku tidak mendengar tapi kemudian Ms.Vero menjawab, “of course she has cars, like yours. U can play cars with Noah in Miss Kezia’s house. Ha have a lot of cars too, Marlon.” Anak itu kembali menunduk, sekilas kulihat mukanya merah.
Ms. Vero mengambil kursi dan duduk disebelahku, ia berkata, “Miss, Marlon suka tanya-tanya sama maminya, “mami, how to spell miss Kezia’s name?. mami, I want to go to miss Kezia’s house.” Maminya sampe pusing. Dia cerita-cerita gitu sama gue, bow. Marlon suka sama lo, bow. Ha ha ha. Kocak ya. Ya ampun.”. Aku dan teman-temanku menyimak cerita Ms.Vero dengan rasa heran yang amat sangat. Tidak percaya rasanya anak sekecil itu sudah merasakan bagaimana rasa kagum pada orang lain. dan yang lebih tidak percaya lagi karena objeknya adalah aku. “dia kan nggak pernah deket sama lo, bow. Kok bisa ya? Ya ampun, Marlon. Ck ck ck.” Kata Ms Iin. Aku dan teman-temanku tahu kalau Marlon tidak pernah dekat denganku seperti kedekatannya dengan Ms.Vero selama ini, makanya mereka semua yang mendengar cerita ini keheranan.
Cerita ini mungkin hanya jadi perbincangan lucu waktu makan snack pagi itu dan seakan berlalu begitu saja tapi tidak ketika diwaktu-waktu berikutnya cerita lucu itu menjadi sesuatu yang lebih nyata.
Bagiku tidak ada moment yang lebih indah dalam 24 jam yang lalu selain moment itu. Menyaksikan wajah Marlon yang memerah, melihatnya menundukkan kepala dan mendengar kalimat “Marlon says he loves you, Miss Kezia. He wants to come to your house.”, mendadak luka dihatiku sembuh. Air mata semalam bagai tidak pernah ada, terlupakan begitu saja. Kesedihan menguap seketika. Seketika itu juga, moment yang hanya berlangsung beberapa menit itu membuang isi kepalaku yang berantakan dan menggantinya dengan rasa senang yang meluap-luap. Mungkin kedengaran sepele tapi itu makin terasa dijam-jam berikutnya.
Sepanjang hari Marlon terus-terusan berlarian mondar-mandir didepanku. Dia main lari-larian , pura-pura jatuh, pura-pura pingsan dan pura-pura kecapean didepanku. “cari-cari perhatian sama lo tu.” Kata Ms Iin yang juga ikut mengawasi anak-anak bersamaku. Ia terus-terusan menawariku, “miss, what do you want to eat?” dan ia akan menyodoriku berbagai mainan makanan yang ada diruang bermain sampai didepanku penuh dengan piring-piring berisi makanan, waktu ia merasa tidak ada lagi yang bisa ditawari, ia kemudian mengisi piring-piring dengan mainan-mainan karet binatang. “you have to eat that too, miss.” Katanya sambil tertawa-tawa.
Usaha mencari perhatian tidak berhenti sampai disitu. Sepanjang hari itu ia terus berusaha menarik-narik tanganku, tidur-tiduran dipangkuanku karena pura-pura capek, bersandar dibadanku dan sebagainya. Sekali waktu terjadi hal yang menggelikan. Kami sedang menghabiskan dua puluh menit terakhir bermain bersama. Aku sedang bermain bersama anak yang lain, tiba-tiba Marlon berdiri dibelakangku dan mengambil tangan kananku. Digenggamnya tanganku sambil diusap-usapkan ibu jarinya pada jari-jariku. Ia hanya berdiri disitu dan terus begitu padahal ia tahu aku sedang main dengan temannya tapi tidak juga dilepasnya tanganku. Genggamannya lembut dan penuh sayang. Genggaman yang memang diniati dan ia nikmati. Terasa sekali, itu bukan genggaman tangan seorang anak kecil pada gurunya. Ia tidak sadar kalau aku dan Ms Iin memperhatikannya diam-diam, kami berdua hanya tersenyum geli. Kurang lebih 5 menit lamanya dia memegang tanganku sampai bisa kurasakan tangannya berkeringat, tidak juga dilepas. Sampai kudengar Ms Vero berteriak, “Marlon pegang-pegang tangan miss Kezia ya. Hayo..”. Marlon langsung membuang tanganku dan berlari. Ms Vero menghampirinya dan berkata, “nggak apa-apa. Klo Marlon mau pegang tangannya miss Kezia, pegang aja. itu kan missnya Marlon juga.” Aku bisa melihat wajah Marlon yang berubah merah dari tempatku. Aku juga mendengar ia berkata, “nggak kok. Dia jelek kaya kodok. Ngook..ngook.”, wajahnya yang putih makin memerah. Aku dan Ms Iin tertawa mendengarnya.
Sebelum pulang aku memanggil Marlon. Kami masih punya sisa waktu beberapa menit sebelum jam sekolah selesai. Ia datang menghampiriku dan duduk disampingku. Lagi-lagi ia menggenggam tanganku seperti yang ia lakukan tadi, kali ini ia kelihatan lebih nyaman. Aku berkata, “hey, miss vero said you want to come to my house.”
“is it far?” dia bertanya. Jari-jarinya masih asik bermain ditanganku.
“no, its not too far from your house. you can come if u want.”
“do you have cars in your house?”. Ia bertanya, kali ini ia mendongakkan kepalanya, melihatku penuh minat.
“yes, I have cars. I have toys in my house.” Aku menjelaskan. “ You can play cars with Noah.”
“why?” Marlon melempar pertanyaan khasnya.
“because Noah also likes cars, just like you.”
“ya, but why?” ia kembali menekankan pertanyaannya. Ia merasa aku belum menjawabnya dengan benar.
“what do you mean ‘why?’”
“why I have to play with Noah? Why can’t I play just with you?”. Pertanyaan ini dia maksudkan dengan sungguh-sungguh, aku bisa melihatnya dari gerakan badannya yang memutar menghadapku seperti menuntut sesuatu. Kemudian aku tersenyum geli.
Melihat matanya yang masih menatapku, aku menjawab, “of course you can play with me too.” Sambil mengusap-usapkan tanganku yang bebas ke rambutnya.
“why Noah have cars in your house? Why he play in your house?” ia bertanya lagi.
“because he live there. Its his house too and I buy toys for him. Just like your mami buy toys for you.”
“why u buy toys for Noah? Why he live there?” wajahnya kelihatan kebingungan waktu bertanya.
“then I buy for who? Of course I buy him toys because I’m Noah’s mami.” Aku masih berusaha menjelaskan.
“ya, but why you are Noah’s mami?” kali ini wajahnya makin bingung. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menaruh telunjukknya dijidat, bergaya mikir sesuatu.
O my God. Ini bisa jadi panjang lebar. Aku memutuskan untuk menghentikan perbincangan ini. sudah jam 12, waktunya anak-anak pulang. Aku hanya berkata pada Marlon, “hey, why don’t you tell your friends to tidy up and then we go home.”. Marlon tidak kelihatan keberatan aku tidak meneruskan perbincangan kami. Ia hanya melihat melakukan quick screening pada sekelilingnya tapi tangannya tetap memegang tanganku. Menyadari ia belum melepas tangannya, aku yang melepas genggamannya lebih dulu dan merangkulnya dari samping. Kucium ujung kepalanya dan berkata, “I love you too, big Marlon”. Kemudian ia berdiri dan menghambur kekerumunan teman-temannya yang masih bermain.
Sepulang  sekolah aku mengawasi anak-anak yang bermain dari kejauhan. Beberapa dari mereka sedang disuapi makan siang dan beberapa hanya bermain-main sambil menunggu jemputan datang, memang ada beberapa yang tidak makan siang disekolah, salah satunya Marlon. Ia dibekali makanan kecil ditasnya dan kebiasaannya adalah minum susu selagi dalam perjalanan pulang ke rumah dan ia akan makan siang dirumah mengingat jarak dari sekolah dan rumah yang tidak jauh. Setiap hari salah satu dari kami, guru-guru, mengecek makan siang anak-anak yang tidak ditunggui nannynya. Nanny Marlon sudah tidak mengantar kesekolah lagi sejak Marlon berumur 4 tahun, nannynya ganti mengurus adiknya yang belum sekolah. Hari ini, karena masih merasa intens berdekatan dengan anak itu, alih-alih ms Vero, aku ganti mengecek makan siangnya. Aku lihat dia membawa stick coklat, Sticko, dikotak makanannya. “hey, do you want something to eat?” aku bertanya sambil menyodorkan kotak makanannya. “what do I have, miss?” katanya. lalu ia melihat isinya dan mengambil kotak makanan dari tanganku. Aku bersiap pergi dari locker tasnya, kemudian dia memanggilku, “miss, do you want my chocolate?” ia  menyodorkan kotak makanan sambil menggigit sebatang coklat dengan gigi depannya yang ompong. Aku terkejut setengah mati mendengarnya. Beberapa saat kemudian aku tertawa dan menjawab, “really?  you want to give me?” Marlon masih menyodorkan kotak makannya dan mengangguk penuh semangat. “enak loh.” Katanya. “Ooh, thank u, Marlon.” aku mengambil sebatang kecil stik coklat kemudian pergi.
Bukan rahasia umum lagi tentang salah satu sifat Marlon. Pelit. Dia tidak pernah membagi apapun yang ia miliki. Tidak pernah membagai makanan pada temannya, salah satunya. ia hanya berbagi makanan dengan adiknya dan untuk disekolah, ia hanya mau berbagi dengan ms Vero. Itu juga harus ditanya dulu, “Marlon, can I have some?” dan jawabannya bisa ya dan bisa tidak, suka-suka dia. Tidak pernah dia menawarkan berbagi makanan dengan sukarela. Aku kembali ke locker guru tempat teman-temanku sedang duduk makan siang. Stick coklat kecil itu masih ditanganku, belum kumakan. Aku duduk disamping ms. Farin. Diam sebentar lalu berkata, “miss, gue dikasih coklat sama Marlon.”. lalu yang lain menoleh. “gue nggak minta, dia yang nawarin, bow” lanjutku.
“wow !! hebat.” Kata ms Iin terheran-heran “ck ck ck. Hebat Marlon bisa ngasih lo coklat. Gue aja minta gak pernah dikasih.” Yang dibilang Ms Iin itu benar, makanya semua heran. Ms Vero hanya tertawa-tawa. “gile, cinta banget dia. Ha ha ha.” Kata ms Iin lagi. Aku sendiri masih ber-wow hebat ya!-dalam hati selagi mereka memperpanjang cerita.
Jam 1 siang mami Marlon menjemput, seperti biasa. Sudah menjadi kebiasaan untuk kami mengantar anak-anak sampai kedepan pintu, malah kadang sampai masuk pintu mobil jemputan mereka. Hari ini, karena efek euphoria-coklat, aku mengantar anak itu sampai ke pintu depan sekolah. Maminya menenteng tas dan menggiring anaknya keluar sekolah. Seperti biasa, maminya akan berkata, “thank you ya, miss.” Dan aku akan menjawab, “sama-sama”. Kemudian ditengah anaknya yang meloncat-loncat ia akan berkata, “ayo Marlon, bye-bye sama miss dulu.”, dan si anak biasanya akan melambaikan tangan sekenanya kemudian berlari sampai mobil diikuti maminya yang berjalan cepat-cepat mengejar anaknya. Tapi lain yang terjadi hari ini.
“bye-bye, miss.” Kata Marlon. Ia melambaikan tangannya dan berjalan. Kemudian ia berhenti ditengah jalan, menoleh kebelakang, melambaikan tangan, “bye-bye miss.” Lalu berjalan lagi. Berhenti lagi, melambaikan tangan lagi, berteriak “bye-bye, miss.” Begitu terus sampai dipintu mobil, masih disempatkannya berdiri dipintu, menoleh kebelakang dan melambai. Ia masuk ke dalam mobil, kulihat kaca jendela terbuka, wajahnya yang berseri-seri, semu merah dipipi yang terpantul dari sinar matahari itu terbingkai dijendela. Ia melambaikan tangan kuat-kuat. Aku berdiri ditengah playground dan teriknya matahari. Kulambaikan tanganku sebagai balasan.
Terkadang kita tidak perlu susah-susah mencari cara mengobati luka hati. Karena terkadang obat itu tenyata sudah diberikan kepadamu dengan cara yang tidak biasa. Dan obatku, tenyata ada ditangan anak kecil berumur 4 tahun dengan giginya yang ompong.
Fase jatuh-cinta Marlon berlanjut dibulan-bulan berikutnya. Ia bahkan sempat membuat jengkel ms Vero dengang fasenya itu. Marlon sempat ngambek ingin ikut belajar dikelasku, bukan dikelasnya sendiri. Ia juga banyak berulah kalau aku ikut bergabung dikelasnya atau kalau aku sedang menggantikan ms Vero mengajar dikelasnya. Kadang-kadang dia menjadi agak manja dan banyak mencari perhatian. Tapi itu kemudian menjadi hal yang biasa buat kami. Teman-temanku tahu usahanya mencari perhatian. kedekatan kami makin lama makin wajar. Ia tidak lagi berusaha sekeras dulu untuk mencari perhatian. Menurutku, terkadang aku juga sedikit memanjakannya karena sering menuruti kemauannya. Aku berusaha mensejajarkan diri dengan guru-guru yang lain, mengajarnya seperti murid-murid yang lain dan semua berjalan baik. Dan yang lebih baik lagi, kedekatan Marlon denganku mulai terbagi dengan guru-guru yang lain. setelah hampir dua tahun dia bersekolah disini, ia bisa juga mendekatkan diri pada mereka. Kalau dulu, dia hanya akan mengadu pada ms Vero, sekarang ia akan memanggil siapapun miss yang dilihat berada didekatnya.
Kemajuan Marlon dalam berbahasa dan menulis sangat banyak. Tulisannya sudah tidak naik turun. Ia sudah bisa menggunting dan memegang sendiri kertasnya. Dan yang paling menonjol adalah kemampuan matematikanya. Ia memang lebih unggul dalam kecerdasan logic dan analisis dasar matematika, seperti menambah angka dan mendeduksi sebuah masalah yang sederhana. Diusianya yang ke 5, ia sudah bisa membaca tiga huruf dalam bahasa inggris, seperti car atau dog. walaupun ia tetap bukan anak yang lancar dalam main sepeda roda tiga atau balok keseimbangan.
Yang lebih mengherankan lagi, sekarang ia mau disuapi siapa saja waktu makan siang, dalam hal ini kami guru-gurunya. Dulu ia hanya mau disuapi ms Vero. Kadang-kadang ia suka memperhatikan kami makan siang. Sengaja duduk disebelah kami untuk melihat menu makan siang kami. Marlon suka ayam goreng dan telur. Kalau kebetulan kami makan siang dengan menu ayam goreng atau telur dadar, ia suka menunjukkan muka kepingin minta. Kadang-kadang kami memberinya makan siang kami sebagian. Dan hebatnya, dia mau. Dulu dia tidak mau berbagi apa saja yang berhubungan dengan menyentuh mulut. Pernah sekali waktu ia menyodorkan keripik yang sudah ia gigit sedikit padaku. “miss, mau nggak?” katanya setengah meledek. Aku mengambil keripik itu dan memakannya dengan cuek. Lalu ia memperhatikanku, “miss koq nggak jijik? Itu kan bekas mulutnya Marlon. Udah kena ludahnya Marlon.” Sedemikian hati-hatinya dia dengan bagian mulut. Banyak hal lain yang menurutnya menjijikkan, seperti muntahan, air kencing, sedikit kotoran di toilet karena tidak disikat dan air liur. Ia tidak akan segan-segan menunjukkan kejijikannya pada hal-hal seperti itu. ia akan berteriak, “hueek.” atau “eiuhh.” Jika melihat temannya muntah atau kencing dicelana. Dia juga bukan anak yang suka dicium. Dia akan langsung mengelap pipinya kalau ada yang habis menyium pipinya. Sekarang masih begitu, kadang-kadang, tapi dia tidak banyak menolak ciuman-ciuman kami dipipinya yang merah muda. Setelah dua tahun, ia mau makan dari kotak makan gurunya tanpa jijik, dengan sendok sendiri tentunya. Entah karena ia benar-benar lapar atau memang dia sudah begitu dekat dengan kami. Alasan apapun cukup buat kami menyayanginya.
Dia anak yang lembut. Selama hampir dua tahun aku bersamanya, tidak pernah kulihat dia berbuat kekerasan yang disengaja pada temannya. Dia tidak pernah menyakiti siapapun. Kalau mainannya direbut, ia hanya akan mengadu sambil berteriak “hey!!” atau segera memanggil gurunya. Kalau dia sedih, dia tidak akan menangis. Dia akan menahan air matanya sampai wajahnya merah padam. Waktu ia menahan air mata, bisa kulihat badannya tegang, bibirnya tertutup rapat tapi giginya bergetar dan ia akan mengepalkan kedua tangannya sambil menunduk. Sering aku lihat, ia menahan air mata sampai maminya datang menjemput, ia akan menangis dipelukan maminya, tapi tidak didepan orang lain. Kalau dia berbuat sesuatu yang menyakiti temannya dengan tidak sengaja, ia akan berkata “sorry.” dengan segera. Tapi kalau ia merasa ia mendapat perlakuan yang tidak adil, ia akan bertanya, “why?”, “kenapa dia jahat?” ,“tapi kan bukan Marlon yang mulai, miss.” atau “dia yang nakal, miss.”
Marlon bukan anak yang pendendam. Pernah sekali waktu ia ngambek sejadi-jadinya padaku, sampai-sampai ia harus lari karena menahan diri untuk tidak menangis. Waktu itu aku tidak sengaja menertawakannya sampai membuatnya kaget, sampai-sampai dia sakit hati, aku sendiri tidak sadar kalau tawaku membuatnya marah sampai dia merengut dan lari kearah ms Vero, menjauh dari aku. Ms Vero membujukknya dan menanyakan alasannya. Beberapa saat dia kembali bersama ms Vero dengan wajah yang masih merah. Ms Vero menjelaskan padaku dengan singkat dan pelan lalu ia berkata, “Marlon, kalo marah sama miss nya bilang aja, nggak apa-apa. Jadi miss nya tau Marlon marahnya kenapa.”
Aku menghampiri Marlon perlahan dan bertanya, “Marlon marah sama aku?” ia tidak menjawab. “klo marah sama aku nggak apa-apa. Bilang aja.” Ia masih tidak menjawab, wajahnya yang merah menunduk. “Marlon nggak suka diketawain ya?” aku bertanya lagi. Ia mengangguk samar tapi cukup terlihat ia berusaha menjawab. “Aku minta maaf ya, Marlon. Aku janji deh, nggak ketawain Marlon lagi.” Aku memegang tangan Marlon yang terkepal, beberapa saat kepalannya sedikit melonggar. “we’re friends again, ya.” Kataku kemudian. Aku meninggalkannya bersama ms Vero, tidak beberapa lama Marlon sudah muncul lagi didepanku, ia kembali bermain, bahkan meminta tolong dibuatkan mobil-mobilan dari kertas. Sepulang sekolah, kami sudah main dorong-dorongan sepeda lagi.
Diminggu ketiga, sekitar pertengahan May 2010, aku menjalani hari-hari terakhir semester 2. Kurang dari sebulan lagi anak-anak akan naik kelas. Hari belajar kami sudah hampir selesai. Aku sendiri hanya tinggal mengulang sedikit materi-materi selama satu semester ini. tidak banyak waktu belajar karena kebanyakan waktu diisi dengan latihan Graduation yang akan diadakan bulan juni dihari terakhir sekolah. Biasanya setelah latihan, anak-anak akan bermain selama setengah jam sampai waktu belajar.
Selama tiga hari dalam seminggu ini aku membawa handphoneku disaku celana. Biasanya aku meninggalkan handphone dilaci kelasku selama kegiatan belajar mengajar, tapi tidak selama tiga hari ini. aku tetap pada kebiasaan untuk tidak menerima panggilan masuk, sms atau kegiatan sejenisnya. Selama tiga hari itu aku menggunakan handphone untuk berfoto-foto dengan Marlon, atau mengambil gambar anak itu, apapun kegiatannya ditengah-tengah jam bermain sebanyak-banyaknya. Waktu itu aku hanya merasa aku tidak punya cukup foto bersama dia.
Hari selasa, selesai pelajaran Mandarin, tersisa beberapa menit sebelum pulang sekolah. Aku lagi-lagi berfoto bersama Marlon. Kali ini dia bergaya dinosaurus dan aku bergaya monster. Dulu Marlon bukan anak yang senang difoto bersama seseorang, dia lebih sering kabur kalau diminta foto bersama, dan setiap kami menyuruhnya berfoto, ia akan membuat muka aneh-aneh. muka dinosaurus dengan tangan membentuk cakar dan monster seram adalah pose favoritnya. Tapi hari ini dia mau duduk dipangkuanku dan foto bersamaku. Setelah berfoto, aku masih memeluknya dan dia masih duduk dipangkuanku sambil memainkan selembar kertas coret-coretan bergambar mobil yang dibuatnya. Aku berkata padanya, “Marlon, nanti kalo miss nya Marlon ganti, Marlon harus nurut juga ya.”
“emangnya kenapa?” dia bertanya, ia masih memainkan kertasnya yang sekarang sudah ia gulung. “emangnya nanti miss nya Marlon siapa?”
“ya nggak tau, kan nanti miss nya Marlon pasti ganti donk. Kan Marlon naik kelas.” Kataku
“nggak, kata mami, Marlon naik SD nya bukan sekarang. Masih lama.”
“ya, I know.  But you’re getting bigger and bigger so you will have new miss.”
“big kayak papi ya?”
“iya.” jawabku menanggapi pertanyaan polos ala anak-anak. “ Janji ya sama aku, Marlon nggak boleh nakal sama miss barunya.”
Dia tidak menjawab.
Aku melingkarkan tanganku memeluk Marlon. Badannya sudah berat sekali, perutnya sedikit buncit. Dulu aku dengan mudah bisa mengangkatnya, sekarang ia sudah tinggi besar. Baju seragamnya juga sudah sempit. Gigi depannya yang keropos sudah lepas, ia akan punya gigi dewasa tidak lama lagi. Model rambut anak itu masih sama seperti pertama aku menjumpainya. Masih setengah jabrik. Aku menggenggam tangannya yang memegang gulungan kertas beberapa saat  sebelum ia berlari menghampiri temannya. Hari itu aku tidak tahu kalau itu terakhir kalinya dia duduk dipangkuanku, foto dinosaurus dan monster akan jadi foto terakhirku dengannya dan aku tidak tahu kalau aku akan menjabat tangan Marlon Lee untuk yang terakhir kalinya.


Kezia Mamoto
ps. I miss you, my big Marlon..

0 comments:

Post a Comment