Saturday, September 25, 2010
Eh, kenalin. Aku ini sebuah kolam. Aku terbuat dari batu-batuan. Aku tinggal dipojok depan rumah sebuah keluarga. Pojokan itu katanya dulu kandang anjing. Sifatku baik kok, aku sangat nerimo dan sedikit suka nguping. Sudah hampir 20 tahun aku tinggal disitu ini sedikit catatan dariku.
Kelahiranku
Aku datang kekeluarga ini pada tahun 90-an. Aku dilahirkan dari sebuah sendok. Siang itu tiga orang anak SD berbondong-bondong datang membawa sendok makan ditangan mereka masing-masing. Tanah berkerikil yang agak liat mulai digali menggunakan sendok-sendok itu. Semangat sekali, agak liar malah. Memang dasar anak kecil, pikirannya secetek dasar sendok. Mereka nggak mikir bahwa beberapa menit berikutnya hasil karya sendok-sendok cuma berupa congkelan tanah yang berantakan, nggak jadi apa-apa. Tapi ide dan akibat perbuatan mereka itu justru yang melahirkan aku. Orang tua mereka nggak terima halaman rumahnya diacak-acak dan memutuskan untuk mewujudkan impian mereka. Lalu dipanggilah tukang batu untuk merapihkan kreasi awal ketiga anak itu.
Aku dan teman-temanku.
Setelah aku lahir, aku difungsikan dengan tidak benar. Aku tidak bisa menuntut banyak atas pelecehan itu. Aku dan teman-temanku disiksa lahir batin oleh ketiga anak liar itu. Mereka bertiga setiap hari membawa teman-temannya, yang sama-sama liarnya, untuk mengaduk-aduk isi perutku sampai kami semua mual. Anak-anak itu membuat ladang permainan mereka sendiri. Main sekolah-sekolahan, mereka memaksa teman-temanku jadi murid-muridnya, padahal kami nggak ngerti sekolah itu apa. Berakting ala peloncat indah sampai isi perutku berhamburan, dan yang paling parah menaruh berbagai macam makanan yang akhirnya jadi racun buat teman-temanku. Teman-temanku akhirnya mati satu persatu. Aku benci mereka. Mereka berisik. Aku dan teman-temanku selalu ditinggalkan dalam keadaan kotor, butek, pusing dan memohon ingin mati saja.
Aku dan anak lelaki itu.
Bulan juni tahun 1994, salah satu dari ketiga anak itu tidak datang lagi. Anak lelaki itu katanya meninggal dunia. Keluarga ini berduka. Kedua orang tua dan kakak-kakaknya menangis. Bahkan kedua kakak dan teman-temannya juga sudah tidak lagi memperdulikan aku. Teman-temanku juga sudah mati semua. Aku sendirian. Aku dibiarkan. Katanya, dulu anak lelaki itulah yang mencetuskan ide untuk memiliki aku dikeluarga ini. Setelah anak lelaki itu tidak ada, isi perutku diganti dengan puing-puing dan batu-batu. Ikut dikubur bersama anak lelaki itu.
Sejak kematian anak lelaki itu, aku sekarat. Seperti tidur panjang. Aku menyebutnya begitu karena sekalipun aku ditimbun bebatuan, keluarga ini tidak membunuhku. Mereka nggak mengembalikan aku jadi tanah lagi. Tujuh tahun kemudian, aku dibangunkan dari tidur panjangku. Ibu mereka memutuskan untuk membangunkan aku kembali. Tapi ia juga tidak ingin aku dibiarkan bangun begitu saja, ia ingin merubah total bentukku. Tubuhku kesakitan akibat diacak-acak oleh tukang batu. Pukulan palu dan gesekan semen yang menghancurkan hampir seluruh tubuhku itu sangat menyiksa. Itulah proses kelahiran kembaliku, aku yang tadinya berukuran kecil, sederhana dan membosankan, sekarang aku sangat megah dan cantik. Dihias batu-batu dan air pancuran. Air mengalir dari berbagai penjuru. Jembatan kecil, kendi dan bambu kuning buatan sebagai saluran air.
Aku dan cinta.
Aku menyaksikan bagaimana cinta datang dan pergi. Aku melihat sendiri beberapa kisah cinta mereka. Aku pertama kali mendengar kata 'cinta' dari kisah si anak kedua delapan tahun yang lalu. Jam 11 malam. Seorang laki-laki datang kerumah ini. Wajahnya familiar, laki-laki itu sudah sering datang sebelumnya. Mereka juga sering duduk berdekatan sambil ngobrol-ngobrol tidak jauh dariku. Aku nguping. Tapi ada yang aneh malam itu. Laki-laki itu duduk berpangku tangan diatasku, sendirian. Si anak kedua hanya berdiri didepannya sambil bersandar pada sebuah pilar. Mereka seperti sengaja mengambil jarak. Aku penasaran. Lagi-lagi aku nguping. Ini kutipan pembicaraan mereka.
Anak kedua : Ada apa sih?
Cowoknya : Ada yang mau gue sampein.
Anak kedua : Apa?
Cowoknya : Gue cuma mau bilang, gue cinta sama lo.
Kemudian laki-laki itu bercerita tentang apa itu cinta. Katanya cinta itu perasaan yang harus dia bilang saat itu juga dan dia bahagia cuma dengan bilang cinta. Laki-laki itu nggak bohong, dia bener-bener kelihatan bahagia. Tutur katanya halus, sopan dan wajahnya selalu tersenyum. Si anak kedua mendengar penjelasan panjang lebar itu sambil mengorek-ngorek cat pilar sampai berlobang. Aku penasaran apa kelanjutannya, tapi tiba-tiba pembicaraan itu diakhiri seperti ini.
Anak kedua : Udah?
Cowoknya : Udah.
Malam itu malam terakhir aku melihat laki-laki itu. Ia tidak pernah datang lagi dihari-hari berikutnya.
Aku dan Boim.
Kali ini aku difungsikan dengan benar. Sebagai bagian estetika rumah keluarga ini. Nggak ada lagi main sekolah-sekolahan, nggak ada lagi loncat indah yang memualkan. Anak-anak itu sudah jauh lebih besar, nggak pantes main-mainan begitu lagi. Dan yang lebih penting lagi, aku berfungsi sebagai rumah bagi teman-temanku. Aku yang baru juga sempat punya teman-teman yang mirip dengan teman-temanku dulu. Tapi diantara mereka cuma satu yang bertahan hidup bertahun-tahun. Namanya Boim. Boim datang dari pasar, dibeli dari tukang ikan oleh tetangga mereka dan Boim dihibahkan begitu saja kekeluarga ini pada akhir tahun 2002. Boim itu pejuang tangguh, mungkin karena asalnya dari pasar, hidupnya keras. Dia bisa bertahan hidup dengan makan apa saja. Kerupuk udang, daun mentah, ulat bulu, buah pepaya, nasi, batu, daging ayam, dan makanan nggak lazim lainnya. Istilah keracunan makanan nggak ada dikamus Boim, nggak seperti teman-temanku dulu. Anehnya, Boim nggak pernah sakit, makanan-makanan yang ditelannya itu justru membuatnya tumbuh besar. Boim jomblo. Sampai mati juga tetap jomblo. Mati jomblo. Tujuh tahun, sejak datang, Boim nggak pernah merasakan indahnya bercinta. Dia justru korban pasca putus cinta. Waktu si anak kedua putus sama pacarnya, Boim temanku suka dipanggil-panggil untuk urusan nggak jelas, kadang dicurhatin. Belaga gila dia. Kasihan Boim temanku, dia suka harap-harap cemas kalo denger namanya disebut. Walaupun hidupnya kurang bahagia, Boim dikuburkan dengan terhormat disampingku bersama teman-temanku yang lain. Lagi-lagi aku sendirian.
Aku dan jendela itu.
Aku suka mengamati keluarga ini. Aku hafal rutinitas si ibu yang setiap hari nggak lupa menyirami tanaman yang tumbuh disekelilingku, si ibu juga yang suka memandikan aku, kadang juga ia main-main dijembatan sambil menyibak permukaan air. Tapi karena aku berada tepat dibawah jendela kamar si anak pertama, jendela itulah yang paling sering kuamati. Jendela itu sering terbuka. Jendela itu kadang lupa dikunci sampai pernah dibuka orang yang nggak dikenal, katanya itu pencuri. Jendela itu juga sering diduduki. Kadang si anak pertama yang duduk disitu, kadang anak kedua yang meminjam jendela itu untuk melihat langit atau sekedar menikmati hujan. Dari jendela itu aku sering mendengar bemacam-macam suara. Si anak pertama sering memutar sesuatu yang disebut musik oleh mereka. Aku dan Boim suka ikut mendengarkan. Jendela itu sering diloncati. Pelakunya bermacam-macam orang, dan yang paling sering loncat keluar masuk adalah dua orang itu, si anak pertama dan kedua. Mereka sering loncat, kemudian duduk didekatku cuma untuk menghisap batangan yang mengeluarkan asap. Malam-malam mereka sering loncat kalau pintu rumah dikunci dari dalam. Kadang-kadang si anak kedua loncat dan duduk dijembatan hanya untuk bicara sendiri sambil melihat bintang. Dari luar, aku melihat berbagai macam kejadian lewat jendela itu. Seorang bayi yang menangis, seorang lelaki yang berteriak-teriak, si anak pertama yang marah-marah atau kadang ketiganya tertawa bersama. Saking banyaknya yang bisa kuamati lewat jendela itu, setiap hari aku selalu menunggu terbukanya jendela itu.
Setelah Boim mati, aku lagi-lagi sekarat. Kali ini lebih mengenaskan. Aku tidak lagi ditimbun puing-puing tapi hanya dibiarkan begitu saja. Rupaku sudah tidak indah lagi. Batu-batu berlumut sampai hitam. Genangan air jadi sarana metamorfosis dari kecebong menjadi katak. Tidak ada lagi air bersih yang mengalir dari pancuran dan hiasan bambu kuning. Kalo musim kemarau tiba, aku benar-benar kekeringan, hanya daun-daun kering yang jatuh kedalam perutku. Kalo musim hujan tiba, aku hanya menampung air hujan, kadang sampai meluap-luap.
Sejak kelahiranku, sudah hampir 20 tahun aku berada dikeluarga ini dan mereka belum juga memutuskan hari esok yang akan mereka berikan padaku. Aku masih ada dipojokan yang sama. Aku ini kolam batu.
In utter silence, I felt an untold loss.
If these stones could talk-
Would they tell the story of broken hearts?
Of broken promises, lost loves and hopes?
If these stones could talk-
Would they tell the story of broken hearts?
Of broken promises, lost loves and hopes?
....
A story of souls once lived and loved
As proofs of eternal existence,
Finding solace only in silence.
As proofs of eternal existence,
Finding solace only in silence.
- Sossy Nercessian (If Stones Could Talk)
Kezia Mamoto
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment